Ketika kekalahan datang,
terimalah kekalahan itu sebagai isyarat bahwa rencana anda kurang kokoh.
Perbaikilah rencana Anda sekali lagi dan teruskan perjalanan menuju tujuan. (Napoleon Hill)
SIANG itu, dari jarak lima puluh meter di luar ruang sidang, sayup-sayup
saya mendengarkan suara pimpinan sidang yang sedang menghitung suara pemilihan.
Matahari cukup terik saat melihat Ahmad Faisol Arifin melangkah keluar dari
ruang sidang. Saya melihat matanya merah sembab, menangis. Beberapa teman
menghampiri dan memeluknya hangat.Mereka mengalirkan kekuatan dan ketegaran.
Siang itu, berkalender 28 Mei, Faisol kalah dalam pemilihan Ketua Umum PMII
Cabang Kota Malang masa khidmat 2015-2016 di Kecamatan Lawang.
Di pojok timur area Konferensi Cabang (Konfercab), di tongkrongan PMII
Komisariat Country, suasana sangat sunyi. Mata sahabat-sahabat merah sembab.
Setiap bibir membisu. Barangkali meratapi kekalahan yang bercampur ketidakmampuan
meredam sakit. Mastodi menyepi. Entah menjauh dari kesedihan atau tidak sanggup
menatap sahabat-sahabat yang digeranyangi kepedihan. Tetapi mungkin saja ia
tidak sanggup mendengar kata “kalah”, karena hanya akan mengingatkan pada masa
lalu yang kurang lebih hampir sama.
Faisol datang dengan langkah kaki santai, dengan dada yang masih tegak.
Matanya yang sembab mendapati Fahmi meringkuk berselimut sarung, tidur di bawah
sinar matahari yang menyengat. Sahabat-sahabat yang lain hendak
membangunkannya, tapi Faisol melarang. Ia tidak tega membangunkan Fahmi – bersama Nashir, Mahmudi dan Mastodi –semalam suntuk tidak
tidur, memikirkan cara terbaik memenangkan pertandingan.
Semua mata menatap ke tanah. Tatapan Achmad Fairozi jauh ke depan,
melampaui batas angin yang ada di depannya. Lebih mirip sikap termenung.
Pikirannya mengawang hingga barangkali pada batas wilayah yang jauh dari dunia.
Setiap hati dikuasai gundah.
Mahmudi membiarkan kakinya berselonjor. Tangan kirinya memegang kepala
yang dibiarkan menunduk. Bukan pusing, sakit atau migran, tapi lebih mirip
sikap ratapan. Semacam ekspresi depresi, putus asa, sedih yang juga
bercampur luka. Ia menjelma satu-satunya orang yang paling terpukul atas
kekalahan itu. Tapi lihatlah, seharusnya Faisol yang lebih terpukul dari semua sahabat-sahabat
Country. Faisol yang menjadi tokoh. Ia yang dengan gagah tetap berdiri di depan
anggota sidang memaparkan visi misinya. Ia yang tangguh berdiri meski
sebenarnya sudah menyadari, kekalahan sudah tak bisa dihindari. Semestinya, tidak
ada yang lebih terpukul selain Faisol.
Namun demikian, saya melihat ada hubungan yang lebih intim dari
persahabatan. Ada komunikasi hati yang lebih romantis dari ikatan persaudaraan.
Sahabat-sahabat Country dengan penuh cinta mengiringi langkah Faisol memasuki
ruang sidang, meski hitung-hitungan politik telah memberikan gambaran
kekalahan.
Sebuah pertanyaan bisa saja dilontarkan, untuk apa semua itu dilakukan?
Lebih dari persahabatan dan persaudaraan, ada yang lebih agung dari sekadar
wacana dan kepentingan politik menguasai ruang. Cinta. Semua itu dilakukan atas
dasar cinta.
Pada perjalanan detik berikutnya, saya melihat Nashir mengajak Faisol
untuk segera meninggalkan area Konfercab. Faisol menolak. Ia lebih memilih
duduk bersama sahabat-sahabat. Sekali lagi, karena ingin saling menguatkan.
Faisol tidak mengkhawatirkan dampak kekalahan itu pada jiwanya. Sungguh ia
tidak khawatir. Ia memilih menguatkan diri, menghibur dan menguatkan hati sahabat-sahabat.
Ia lebih mengkhawatirkan dampak yang akan menimpa jiwa kader-kadernya daripada dampak
yang akan menimpa pada jiwanya sendiri.
Ketika itu saya teringat pada kisah nabi Muhammad saat menghadapi Sakaraatul Maut. Ketika Jibril
mengabarkan tentang sesuatu yang niscaya akan segera menjemput Nabi dan
malaikat Israil telah bersiap-siap menjalankan perintah Tuhannya, bukan Fatimah
atau Aisyah yang ada di benak Nabi, melainkan seluruh umatnya. Nabi memohon
kepada Allah,
seandainya ia bisa menanggung segala dosa umatnya, maka ia akan
menanggungnya.
Saya melihat suatu gambaran sikap yang nyaris sama terpatri dalam diri
Faisol. Sikap mencintai orang lain melebihi cinta pada dirinya sendiri. Teladan
yang baik, yang langsung bisa dilihat dari sikap keseharian lebih baik daripada
mendengarkan ceramah-ceramah di layar televisi. Negeri ini sudah terlalu banyak
orator, tapi pribadi yang bisa memberikan teladan dalam sikap keseharian hampir
susah ditemukan.
Waktu menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Akhirnya rombongan
sahabat-sahabat Country pulang mengendarai motor dan juga transportasi umum.
Tak baik berlama-lama meratapi kekalahan. Hanya akan membuat luka semakin
menganga. Saat itu, ada kalimat yang tiba-tiba terlintas, hidup harus terus
berjalan, perjuangan harus tetap ditegakkan.
TAHUN 2015 adalah tahun kedua PMII Country mengirim kader terbaiknya
untuk menjadi orang nomor satu di PMII Cabang Kota Malang. Sejarah mencatat,
keikutsertaan PMII Country dalam pertarungan politik di ranah Cabang dimulai pada
Konfercab tahun 2014-2015. Saat itu kader terbaik yang dicalonkan adalah
Mastodi. Ia adalah salah satu kader yang dianggap terbaik saat itu. Sejarah
juga mencatat, itulah kekalahan pertama yang dialami sahabat-sahabat Country.
Saya berusaha menangkap pesan tersembunyi dalam proses perundingan
politik di tahun pertama. Beberapa catatan kekalahan di tahun pertama, yaitu: Pertama, PMII Country hanya sekadar “coba-coba”mengirim
calon terbaik dalam pertarungan politik PMII Cabang Kota Malang. Hal itu
dilakukan untuk mendongkrak eksistensi PMII Country. Entahlah, itu semacam
alibi untuk mengelabuhi kader dari malu atau benar adanya. Dan hasilnya sangat
terlihat, PMII Country sebagai komisariat pinggiran mulai diperhitungkan. Ia
tidak lagi menjadi lembaga sebagai penentu kemenangan tetapi menjelma
komisariat pemain, aktor politik di lapangan yang gagah berani meski hanya
sekadar “coba-coba”.
Anggap saja, pencalonan Mastodi menjadi kelinci percobaan PMII Country
atas dasar “coba-coba” tadi. Namun, siapa pun tidak bisa menampik, Mastodi
adalah kader terbaik saat itu. Menang, ia diagungkan, kalah tetap menjadi kader
terbaik Country. Yang menjadi persoalan adalah kata “coba-coba”. Ini lebih
mirip pilihan sikap mengandalkan keberuntungan. Bertarung dengan modal
keberuntungan seperti pergi ke medan perang tanpa dibekali teknik perang yang
baik dan strategi perang mematikan.
Bagi saya, pencalonan Mastodi bukan sekadar “coba-coba”. Ia berangkat
dari strategi perang yang bagus, meski belum sepenuhnya matang. Mastodi
berangkat dari perencanaan dan perundingan politik diplomatis dengan komisariat
lain di lingkungan kota Malang. Ini tidak pantas disebut “coba-coba”, karena
sahabat-sahabat Country berangkat ke medan perang tidak hanya bermodal
keberuntungan, melainkan juga bermodal taktik dan serangan perang mematikan,
meski ternyata bisa dan racun yang dikeluarkan belum cukup ampuh untuk
menggeleparkan gerbong-gerbong komisariat “besar”.
Kedua,
adanya ketidakjelasan klaim sekutu politik dari figur, yaitu Mastodi. Dengan
bahasa lain, Mastodi sudah lebih dulu menyampaikan klaim atas sekutu-sekutu
yang sudah setuju dan ingin merapat ke Country walau pada kenyataannya masih
sangat remang-remang. Tim pemenangan pun tidak peka terhadap kondisi tersebut.
Mereka mengangguk setuju saja, intensitas peracikan taktik politik mengendor
karena sudah ada “klaim menjanjikan” dari figur. Mereka menganggap perundikan
politik dengan dewa-dewa PMII di tataran Kota Malang sudah mendekati sempurna dilakukan
oleh sang figur.
Barangkali mereka lupa bahwa dalam kasus politik, keputusan bisa
berubah setiap detik. Termasuk perundingan politik yang berlangsung di antara
dewa-dewa PMII Kota Malang. Kepentingan tetap bermain, siapa yang lebih
memiliki akses lebih luas dan mudah dengan partai politik, kemungkinan besar
tokoh itulah yang akan memenangkan kursi Ketua Umum.
Pencalonan Faisol juga berangkat dari kondisi yang tidak lebih berbeda
dengan tahun sebelumnya. Melalui perencanaan politik yang bagus. Saya masih
enggan menyebutnya matang, karena perencanaan politik yang dilakukan hanya berlangsung
satu minggu. Waktu memang tidak bisa dijadikan satu-satunya ukuran stategi
tersebut disebut matang atau tidak, tapi waktu yang sebentar juga bisa menjadi
ukuran bagaimana kematangan perencanaan politik itu dipersiapkan.
Perundingan politik dengan komisariat lain dilakukan sehingga entah
bagaimana prosesnya, lahirlah poros politik yang beranggotan empat komisariat,
yaitu Unitri, Uniga, IKIP dan Kanjuruhan. Masing-masing empat poros ini
mengusung calonnya masing-masing. Di hari pemilihan, mereka bertarung dengan Komisariat
Brawijaya, Komisariat Sunan Ampel, dan Komisariat Muhammadiyah – meski akhirnya
mengundurkan diri setelah tahap pencalonan.
Catatan yang bisa diambil dari pertarungan politik tahun kedua yaitu, Pertama, berbicara di internal PMII
Country, barangkali komunikasi dengan para seniur telah dilakukan. Namun, saya
tidak menangkap adanya dukungan penuh dari para seniur. Apa mungkin mereka
sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, wilayah yang secara geografis sangat
jauh dari Malang atau ada faktor lain di luar itu. Mungkin saja PMII Country
mulai melangkahkan kaki menjadi komisariat yang tidak manja. Berkomunikasi
dengan seniur kalau ada perlunya saja.
Kedua,
tidak siapnya alokasi dana. Walaupun pertarungan politik ini tidak menggunakan money politic, namun keberadaan dana
tetap sangat perlu dan penting. Walaupun nyatanya, dana selalu ada pada saat dibutuhkan.
Entah darimana sumber dan aliran dana tersebut, namun yang pasti alokasi dana
tetap sangat peting. Sebatas yang saya tahu, sudah ada rencana mulia dari Aang
Mardiyanto, Ketua Komisariat PMII Country masa khidmat 2014-2015. Ia sudah
menyiapkan dana sekitar empat juta sebagai dana transportasi untuk semua
komisariat sekutu jikalau Faisol keluar sebagai pemenang. Nyatanya, kenyataan
berbanding terbalik dengan harapan yang digantungkan.
Ketiga, ternyata di balik kesepakatan pencalonan Faisol ada satu sampai dua
kader yang tidak sepakat dengan pencalonan tersebut. Ketidaksepakatan ini
didasarkan pada orientasi PMII Cabang Kota Malang yang dinilai mulai tergelincir
ke arah kepentingan politik. Alasan lainnya, perlunya kajian ulang terhadap figur
Faisol.
Keempat, berbicara tentang figur Faisol, tentu tidak ada yang meragukan
kapasitas dan loyalitasnya terhadap organisasi. Keceradasan dan pengetahuannya mengenai
organisasi mulai mencuat saat dirinya menjadi Ketua Komisariat Country masa khidmat
2011-2012. Tak jarang dalam pertemuan-pertemuan yang tidak disengaja, saya dan
Faisol terlibat dalam diskusi topik-topik ringan. Saya melihat, pengetahuan Faisol
terus mengalami perkembangan. Jiwa kepemimpinannya semakin tertata saat menjadi
Pengurus Cabang PMII Kota Malang pada masa kepemimpinan sahabat Dwi. Ia aktif sebagai
pengurus selama satu tahun penuh.
Di tahun berikutnya, pada masa kepemimpinan Habiburrahman, ia ditarik
kembali sebagai pengurus cabang PMII Kota Malang sebagai bendahara umum. Sempat
aktif di awal kepengurusan sebelum akhirnya tak terlihat kembali batang
hidungnya di kepengurusan Cabang. Faisol lebih tertarik terjun ke dalam dunia
kerja dengan menjadi karyawan di bank Danamon di Kabupaten Malang. Selama itu
pula ia aktif sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al Farobi. Sempat
pula menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa di lembaga tersebut.
Ketidakaktifan Faisol inilah yang dinilai beberapa kader akan menjadi
bumerang. Kecakapan Faisol mengenai keilmuan agama, kepemimpinan, pengelolaan
organisasi sudah tidak diragukan lagi bahkan yang terkuat di antara calon-calon
lainnya. Ini mirip sebuah pepatah lama, yang pintar akan kalah dengan yang
bodoh tapi rajin. Batu yang keras akhirnya terlubangi juga dengan tetesan air
yang menghujam tiada henti.
AKHIRNYA, sedih memang tercipta. Perih luka amat sangat terasa meski
tak mengeluarkan darah. Pelajaran hanya bisa diambil oleh mereka yang mau
berpikir, bukan meratapi kesedihan atas kekalahan. Saya melihat ketegangan
masih terlihat di beberapa catatan sosial media. Beberapa ekspresi kekecewaan
maupun kestabilan emosi ditulis berapi-api. Tapi tetap saja, masih
memperlihatkan kerapuhan.
Luka yang diingat-ingat akan terus menjadi kelam. Tentu lebih baik jika
mengambil sikap yang lebih anggun dan bijaksana. Berkumpul di warung kopi atau warung
angkringan untuk saling bertegur sapa dan ngobrol ringan. Ini lebih baik
daripada mengurung diri dan mengumpat satu sama lain, mengabarkan tentang
kekuatan tersembunyi yang masih dipendam dan akan dikeluarkan pada saat yang
tepat. Tidak keliru memang, tapi, sekali lagi, seperti memperlihatkan
kerapuhan.
Sejarah mencatat dua kekalahan berturut-turut dialami oleh PMII
Country. Hal ini semestinya menjadi
pelajaran penting dalam pendidikan politik kader PMII Country ke depan. Pendidikan
politik harus menjadi perhatian utama lainnya agar kader mampu membaca peta
politik lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
Catatan sederhana yang saya tulis ini juga mengenai faktor lain di luar
faktor-faktor kasat mata. Bahwa ada dunia lain yang harus kita masuki agar
semua yang dilakukan bernilai ibadah dan barokah. Kesuksesan yang hakiki itu hanya
diperuntukkan bagi orang-orang terbaik. Terbaik proses dan usaha yang
dilakukan.Terbaik dalam menjalin hubungan horizontal dengan sesamanya dan yang
paling paling penting, menjadi hamba terbaik di hadapan sang pencipta.
Sekali lagi, kesuksesan yang hakiki hanya diperoleh oleh orang-orang
terbaik.
Latif Fianto, lahir di Sumenep, pecinta
buku, menulis cerpen dan esai, sekarang tinggal di Malang.
Sesuatu penggambaran yang cerdas, tentu dikemudian hari apa yang sahabat lakukan akan berbuah manis. Keberhasilan lahir dari belajar pada pertandingan kecil, karena kemenangan besar pada pertempuran Maha Besarlah yang aku selalu doakan untuk sahabat/sahabati sekali an.
BalasHapus