Breaking News
Flag Counter

Senin, 09 November 2015

Politik PMII Country, Kebangkitan Komisariat Pinggiran



Ketika kekalahan datang, terimalah kekalahan itu sebagai isyarat bahwa rencana anda kurang kokoh. Perbaikilah rencana Anda sekali lagi dan teruskan perjalanan menuju tujuan. (Napoleon Hill)

SIANG itu, dari jarak lima puluh meter di luar ruang sidang, sayup-sayup saya mendengarkan suara pimpinan sidang yang sedang menghitung suara pemilihan. Matahari cukup terik saat melihat Ahmad Faisol Arifin melangkah keluar dari ruang sidang. Saya melihat matanya merah sembab, menangis. Beberapa teman menghampiri dan memeluknya hangat.Mereka mengalirkan kekuatan dan ketegaran. Siang itu, berkalender 28 Mei, Faisol kalah dalam pemilihan Ketua Umum PMII Cabang Kota Malang masa khidmat 2015-2016 di Kecamatan Lawang.

Di pojok timur area Konferensi Cabang (Konfercab), di tongkrongan PMII Komisariat Country, suasana sangat sunyi. Mata sahabat-sahabat merah sembab. Setiap bibir membisu. Barangkali meratapi kekalahan yang bercampur ketidakmampuan meredam sakit. Mastodi menyepi. Entah menjauh dari kesedihan atau tidak sanggup menatap sahabat-sahabat yang digeranyangi kepedihan. Tetapi mungkin saja ia tidak sanggup mendengar kata “kalah”, karena hanya akan mengingatkan pada masa lalu yang kurang lebih hampir sama.
Faisol datang dengan langkah kaki santai, dengan dada yang masih tegak. Matanya yang sembab mendapati Fahmi meringkuk berselimut sarung, tidur di bawah sinar matahari yang menyengat. Sahabat-sahabat yang lain hendak membangunkannya, tapi Faisol melarang. Ia tidak tega membangunkan Fahmi – bersama  Nashir, Mahmudi dan Mastodi –semalam suntuk tidak tidur, memikirkan cara terbaik memenangkan pertandingan.

Semua mata menatap ke tanah. Tatapan Achmad Fairozi jauh ke depan, melampaui batas angin yang ada di depannya. Lebih mirip sikap termenung. Pikirannya mengawang hingga barangkali pada batas wilayah yang jauh dari dunia. Setiap hati dikuasai gundah.

Mahmudi membiarkan kakinya berselonjor. Tangan kirinya memegang kepala yang dibiarkan menunduk. Bukan pusing, sakit atau migran, tapi lebih mirip sikap ratapan. Semacam ekspresi depresi, putus asa, sedih yang juga bercampur luka. Ia menjelma satu-satunya orang yang paling terpukul atas kekalahan itu. Tapi lihatlah, seharusnya Faisol yang lebih terpukul dari semua sahabat-sahabat Country. Faisol yang menjadi tokoh. Ia yang dengan gagah tetap berdiri di depan anggota sidang memaparkan visi misinya. Ia yang tangguh berdiri meski sebenarnya sudah menyadari, kekalahan sudah tak bisa dihindari. Semestinya, tidak ada yang lebih terpukul selain Faisol.

Namun demikian, saya melihat ada hubungan yang lebih intim dari persahabatan. Ada komunikasi hati yang lebih romantis dari ikatan persaudaraan. Sahabat-sahabat Country dengan penuh cinta mengiringi langkah Faisol memasuki ruang sidang, meski hitung-hitungan politik telah memberikan gambaran kekalahan.

Sebuah pertanyaan bisa saja dilontarkan, untuk apa semua itu dilakukan? Lebih dari persahabatan dan persaudaraan, ada yang lebih agung dari sekadar wacana dan kepentingan politik menguasai ruang. Cinta. Semua itu dilakukan atas dasar cinta.

Pada perjalanan detik berikutnya, saya melihat Nashir mengajak Faisol untuk segera meninggalkan area Konfercab. Faisol menolak. Ia lebih memilih duduk bersama sahabat-sahabat. Sekali lagi, karena ingin saling menguatkan. Faisol tidak mengkhawatirkan dampak kekalahan itu pada jiwanya. Sungguh ia tidak khawatir. Ia memilih menguatkan diri, menghibur dan menguatkan hati sahabat-sahabat. Ia lebih mengkhawatirkan dampak yang akan menimpa jiwa kader-kadernya daripada dampak yang akan menimpa pada jiwanya sendiri.

Ketika itu saya teringat pada kisah nabi Muhammad saat menghadapi Sakaraatul Maut. Ketika Jibril mengabarkan tentang sesuatu yang niscaya akan segera menjemput Nabi dan malaikat Israil telah bersiap-siap menjalankan perintah Tuhannya, bukan Fatimah atau Aisyah yang ada di benak Nabi, melainkan seluruh umatnya. Nabi memohon kepada Allah,
seandainya ia bisa menanggung segala dosa umatnya, maka ia akan menanggungnya.

Saya melihat suatu gambaran sikap yang nyaris sama terpatri dalam diri Faisol. Sikap mencintai orang lain melebihi cinta pada dirinya sendiri. Teladan yang baik, yang langsung bisa dilihat dari sikap keseharian lebih baik daripada mendengarkan ceramah-ceramah di layar televisi. Negeri ini sudah terlalu banyak orator, tapi pribadi yang bisa memberikan teladan dalam sikap keseharian hampir susah ditemukan.

Waktu menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Akhirnya rombongan sahabat-sahabat Country pulang mengendarai motor dan juga transportasi umum. Tak baik berlama-lama meratapi kekalahan. Hanya akan membuat luka semakin menganga. Saat itu, ada kalimat yang tiba-tiba terlintas, hidup harus terus berjalan, perjuangan harus tetap ditegakkan.

TAHUN 2015 adalah tahun kedua PMII Country mengirim kader terbaiknya untuk menjadi orang nomor satu di PMII Cabang Kota Malang. Sejarah mencatat, keikutsertaan PMII Country dalam pertarungan politik di ranah Cabang dimulai pada Konfercab tahun 2014-2015. Saat itu kader terbaik yang dicalonkan adalah Mastodi. Ia adalah salah satu kader yang dianggap terbaik saat itu. Sejarah juga mencatat, itulah kekalahan pertama yang dialami sahabat-sahabat Country.

Saya berusaha menangkap pesan tersembunyi dalam proses perundingan politik di tahun pertama. Beberapa catatan kekalahan di tahun pertama, yaitu: Pertama, PMII Country hanya sekadar “coba-coba”mengirim calon terbaik dalam pertarungan politik PMII Cabang Kota Malang. Hal itu dilakukan untuk mendongkrak eksistensi PMII Country. Entahlah, itu semacam alibi untuk mengelabuhi kader dari malu atau benar adanya. Dan hasilnya sangat terlihat, PMII Country sebagai komisariat pinggiran mulai diperhitungkan. Ia tidak lagi menjadi lembaga sebagai penentu kemenangan tetapi menjelma komisariat pemain, aktor politik di lapangan yang gagah berani meski hanya sekadar “coba-coba”.

Anggap saja, pencalonan Mastodi menjadi kelinci percobaan PMII Country atas dasar “coba-coba” tadi. Namun, siapa pun tidak bisa menampik, Mastodi adalah kader terbaik saat itu. Menang, ia diagungkan, kalah tetap menjadi kader terbaik Country. Yang menjadi persoalan adalah kata “coba-coba”. Ini lebih mirip pilihan sikap mengandalkan keberuntungan. Bertarung dengan modal keberuntungan seperti pergi ke medan perang tanpa dibekali teknik perang yang baik dan strategi perang mematikan.

Bagi saya, pencalonan Mastodi bukan sekadar “coba-coba”. Ia berangkat dari strategi perang yang bagus, meski belum sepenuhnya matang. Mastodi berangkat dari perencanaan dan perundingan politik diplomatis dengan komisariat lain di lingkungan kota Malang. Ini tidak pantas disebut “coba-coba”, karena sahabat-sahabat Country berangkat ke medan perang tidak hanya bermodal keberuntungan, melainkan juga bermodal taktik dan serangan perang mematikan, meski ternyata bisa dan racun yang dikeluarkan belum cukup ampuh untuk menggeleparkan gerbong-gerbong komisariat “besar”.  

Kedua, adanya ketidakjelasan klaim sekutu politik dari figur, yaitu Mastodi. Dengan bahasa lain, Mastodi sudah lebih dulu menyampaikan klaim atas sekutu-sekutu yang sudah setuju dan ingin merapat ke Country walau pada kenyataannya masih sangat remang-remang. Tim pemenangan pun tidak peka terhadap kondisi tersebut. Mereka mengangguk setuju saja, intensitas peracikan taktik politik mengendor karena sudah ada “klaim menjanjikan” dari figur. Mereka menganggap perundikan politik dengan dewa-dewa PMII di tataran Kota Malang sudah mendekati sempurna dilakukan oleh sang figur.

Barangkali mereka lupa bahwa dalam kasus politik, keputusan bisa berubah setiap detik. Termasuk perundingan politik yang berlangsung di antara dewa-dewa PMII Kota Malang. Kepentingan tetap bermain, siapa yang lebih memiliki akses lebih luas dan mudah dengan partai politik, kemungkinan besar tokoh itulah yang akan memenangkan kursi Ketua Umum.

Pencalonan Faisol juga berangkat dari kondisi yang tidak lebih berbeda dengan tahun sebelumnya. Melalui perencanaan politik yang bagus. Saya masih enggan menyebutnya matang, karena perencanaan politik yang dilakukan hanya berlangsung satu minggu. Waktu memang tidak bisa dijadikan satu-satunya ukuran stategi tersebut disebut matang atau tidak, tapi waktu yang sebentar juga bisa menjadi ukuran bagaimana kematangan perencanaan politik itu dipersiapkan.

Perundingan politik dengan komisariat lain dilakukan sehingga entah bagaimana prosesnya, lahirlah poros politik yang beranggotan empat komisariat, yaitu Unitri, Uniga, IKIP dan Kanjuruhan. Masing-masing empat poros ini mengusung calonnya masing-masing. Di hari pemilihan, mereka bertarung dengan Komisariat Brawijaya, Komisariat Sunan Ampel, dan Komisariat Muhammadiyah – meski akhirnya mengundurkan diri setelah tahap pencalonan.

Catatan yang bisa diambil dari pertarungan politik tahun kedua yaitu, Pertama, berbicara di internal PMII Country, barangkali komunikasi dengan para seniur telah dilakukan. Namun, saya tidak menangkap adanya dukungan penuh dari para seniur. Apa mungkin mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, wilayah yang secara geografis sangat jauh dari Malang atau ada faktor lain di luar itu. Mungkin saja PMII Country mulai melangkahkan kaki menjadi komisariat yang tidak manja. Berkomunikasi dengan seniur kalau ada perlunya saja.

Kedua, tidak siapnya alokasi dana. Walaupun pertarungan politik ini tidak menggunakan money politic, namun keberadaan dana tetap sangat perlu dan penting. Walaupun nyatanya, dana selalu ada pada saat dibutuhkan. Entah darimana sumber dan aliran dana tersebut, namun yang pasti alokasi dana tetap sangat peting. Sebatas yang saya tahu, sudah ada rencana mulia dari Aang Mardiyanto, Ketua Komisariat PMII Country masa khidmat 2014-2015. Ia sudah menyiapkan dana sekitar empat juta sebagai dana transportasi untuk semua komisariat sekutu jikalau Faisol keluar sebagai pemenang. Nyatanya, kenyataan berbanding terbalik dengan harapan yang digantungkan.

Ketiga, ternyata di balik kesepakatan pencalonan Faisol ada satu sampai dua kader yang tidak sepakat dengan pencalonan tersebut. Ketidaksepakatan ini didasarkan pada orientasi PMII Cabang Kota Malang yang dinilai mulai tergelincir ke arah kepentingan politik. Alasan lainnya, perlunya kajian ulang terhadap figur Faisol.

Keempat, berbicara tentang figur Faisol, tentu tidak ada yang meragukan kapasitas dan loyalitasnya terhadap organisasi. Keceradasan dan pengetahuannya mengenai organisasi mulai mencuat saat dirinya menjadi Ketua Komisariat Country masa khidmat 2011-2012. Tak jarang dalam pertemuan-pertemuan yang tidak disengaja, saya dan Faisol terlibat dalam diskusi topik-topik ringan. Saya melihat, pengetahuan Faisol terus mengalami perkembangan. Jiwa kepemimpinannya semakin tertata saat menjadi Pengurus Cabang PMII Kota Malang pada masa kepemimpinan sahabat Dwi. Ia aktif sebagai pengurus selama satu tahun penuh.

Di tahun berikutnya, pada masa kepemimpinan Habiburrahman, ia ditarik kembali sebagai pengurus cabang PMII Kota Malang sebagai bendahara umum. Sempat aktif di awal kepengurusan sebelum akhirnya tak terlihat kembali batang hidungnya di kepengurusan Cabang. Faisol lebih tertarik terjun ke dalam dunia kerja dengan menjadi karyawan di bank Danamon di Kabupaten Malang. Selama itu pula ia aktif sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al Farobi. Sempat pula menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa di lembaga tersebut.

Ketidakaktifan Faisol inilah yang dinilai beberapa kader akan menjadi bumerang. Kecakapan Faisol mengenai keilmuan agama, kepemimpinan, pengelolaan organisasi sudah tidak diragukan lagi bahkan yang terkuat di antara calon-calon lainnya. Ini mirip sebuah pepatah lama, yang pintar akan kalah dengan yang bodoh tapi rajin. Batu yang keras akhirnya terlubangi juga dengan tetesan air yang menghujam tiada henti.

AKHIRNYA, sedih memang tercipta. Perih luka amat sangat terasa meski tak mengeluarkan darah. Pelajaran hanya bisa diambil oleh mereka yang mau berpikir, bukan meratapi kesedihan atas kekalahan. Saya melihat ketegangan masih terlihat di beberapa catatan sosial media. Beberapa ekspresi kekecewaan maupun kestabilan emosi ditulis berapi-api. Tapi tetap saja, masih memperlihatkan kerapuhan.

Luka yang diingat-ingat akan terus menjadi kelam. Tentu lebih baik jika mengambil sikap yang lebih anggun dan bijaksana. Berkumpul di warung kopi atau warung angkringan untuk saling bertegur sapa dan ngobrol ringan. Ini lebih baik daripada mengurung diri dan mengumpat satu sama lain, mengabarkan tentang kekuatan tersembunyi yang masih dipendam dan akan dikeluarkan pada saat yang tepat. Tidak keliru memang, tapi, sekali lagi, seperti memperlihatkan kerapuhan.

Sejarah mencatat dua kekalahan berturut-turut dialami oleh PMII Country. Hal ini semestinya  menjadi pelajaran penting dalam pendidikan politik kader PMII Country ke depan. Pendidikan politik harus menjadi perhatian utama lainnya agar kader mampu membaca peta politik lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Catatan sederhana yang saya tulis ini juga mengenai faktor lain di luar faktor-faktor kasat mata. Bahwa ada dunia lain yang harus kita masuki agar semua yang dilakukan bernilai ibadah dan barokah. Kesuksesan yang hakiki itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang terbaik. Terbaik proses dan usaha yang dilakukan.Terbaik dalam menjalin hubungan horizontal dengan sesamanya dan yang paling paling penting, menjadi hamba terbaik di hadapan sang pencipta.

Sekali lagi, kesuksesan yang hakiki hanya diperoleh oleh orang-orang terbaik.

Latif Fianto, lahir di Sumenep, pecinta buku, menulis cerpen dan esai, sekarang tinggal di Malang.

1 komentar:

  1. Sesuatu penggambaran yang cerdas, tentu dikemudian hari apa yang sahabat lakukan akan berbuah manis. Keberhasilan lahir dari belajar pada pertandingan kecil, karena kemenangan besar pada pertempuran Maha Besarlah yang aku selalu doakan untuk sahabat/sahabati sekali an.

    BalasHapus




Designed By