Breaking News
Flag Counter

Selasa, 12 Januari 2016

MENGELUHKAN SISTEM “PENDIDIKAN YANG SEAKAN SEPERTI BONSAI”




Menyedihkan memang, sebuah kalimat yang terasa haru kedengarannya di telinga ketika ada orang yang terkena musibah atau  kejadian. Tapi,  apa jadinya kalau kalimat menyedihkan itu termaktup pada sebuah pendidikan yang serasa terbonsai di suatu sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang ada di negeri ini.
Ketika pendidikan ujung-ujungnya dikebiri hanya untuk mencapai IPK, GRE, GMAT, atau TOEFL tinggi untuk tujuan menembus universitas-universitas terbaik di dunia. Selain itu, pendidikan yang ujung-ujungnya hanya bermuara pada tujuan mengisi lowongan kerja.

Dalam pragmatisme ini, pendidikan sekedar memproduksi “robot-robot”  dan “zombie-zombie” yang beku akal, kreasi, serta nurani. Tak mengherankan jika dalam banyak kasus pendidikan jenis ini menghasilakan “produk” yang memprihatinkan. Nanti bisa jadi hal semacam itu akan menghasilkan sosok karyawan pembebek dan ABS (Asal Bapak Senang). Dokter yang distributor obat, pengusaha penyuap, politisi kotor, pejabat koruptif, dan lain sebagainya.
Menilik pengalaman pribadi, terus terang saya adalah “korban” dari pendekatan pendidikan kerdil ini, selama 25 tahun menjalani pendidikan dari TK samapai di bangku kuliah. Selama kurun waktu yang panjang itu, saya menjadi anak  manis-penurut (mendengarkan guru, menulis, menghafal, dites multiple choice dan kemudian “lulus”) yang terbonsai potensi dan daya kreasinya. Karena itu, saya punya istilah favorit untuk pendidikan semacam ini “pendidikan bonsai”. Sesuai namanya, sistem pendidikan ini membonsai imajinasi, kekritisan, dan keliaran daya  cipta anak didik. Sistem ini membonsai olah rasa menuju kedewasaan dan kearifan, dikutip saat perjalanan masa pendidikan (Ken Robinson) selama masa sekolah hingga di bangku kuliahnya.
Celakanya, saya baru sadar akan kederdilan sistem ini di akhir-akhir masa kuliah. Karena tak tahan, saya kemudian memberontak, menjadi alien, lonely, dan kahirnya tersingkir dari sistem itu. Sejak itu, saya tak percaya lagi pendidikan bonsai dan memutuskan menjadi self lifetime learner merdeka yang begitu passionate mengembara mengeksplorasi indahnya pengetahuan, daya imajinasi, dan daya kreasi.
“Back to basic”
Di balik sistem yang telah cukup menjamur tersebut di dunia pendidikan, tidak perlu kita khawatir akan lemahnya pendidikan yang seperti itu. Ada dua buku yang telah mencoba mencerahkan, Creative Schools (Allen Lane, 2015) dan Creating Innovators (Scribner, 2015), dua buku ini menggugat model pendidikan bonsai yang sudah terlanjur menjadi mainstream di seluruh dunia. Keduanya sepakat bahwa pendidikan haruslah membebaskan, persis seperti divisikan Paulo Freira setengah abab yang lalu. Keduanya mengedepankan pendidikan yang memanusiakan seperti digagas Prof Driyarkarya. Keduanya menolak kapitalisasi pendidikan, politisasi pendidikan, dan pendidika ala restoran fast food yang anak didikannya dipersiapkan secara potong kompas dan instan.
Tak sekedar mengkritik, kedua buku ini mengajukan model pendidikan alternatif yang lebih holistis, humanis, dan kreatif. Dalam Creative School, misalnya, Ken Robinson (si penulis buku), menyarankan kita semua untuk back to basic dengan membawa pendidikan pada tujuan hakikinya. Hakikat pendidikan mengandung empat dimensi: ekonomis, sosial, kultural, dan personal yang mampu mentransformasi anak didik menjadi manusia dewasa yang berpengetahuan, berkepribadian, dan sarat kearifan.
Pertama, pendidikan harus membentuk anak didik menjadi manusia yang bertanggung jawab dan independen secara ekonomi melalui pengembangan bakat, penguasaan kompetensi, dan pegasahan keterampilan. Kedua, pendidikan haruslah membentuk anak didik menjadi manusia yang memahami nilai-nilai dan budayanya, serta menghargai nilai-nilai  dan budaya orang atau bangsa lain. Intinya, pendidikan harus menghasilkan sosok yang toleran terhadap keberagaman dan perbedaan. (seperti apa yang ada di kampus kita, “Tribhuwana Tunggadewi”) tercinta. Ketiga, pendidikan harus membentuk anak didik menjadi warga Negara yang aktif dan peduli pada nasib masyarakat dan negaranya. Terakhir, pendidikan harus membawa anak didik semakin mumpuni dalam berolah pikir, berolah rasa, dan berolah spiritual sebagai bekal untuk berefleksi dengan dirinya dan berinteraksi dengan dunia di sekitarnya.
Sementara itu, secara lebih praktis, Creating Innovators menekankan pentingnya rasa ingin tahu (curiousity), daya khayal (imagination), dan daya kreasi (creativity) sebagai elemen substansial pendidikan dalam membebaskan (unleash) potensi anak didik. Menurut Tony wagner, si penulis, proses belajar haruslah mengedepankan eksplorasi bakat anak, kolaborasi antardisiplin ilmu, eksperimentasi, dan pencarian solusi atas persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat lingkungannya. Berbeda 180 derajat dengan pendidikan bonsai yang menempatkan anak didik sebagai obyek pasif, pendekatan ini menempatkannya sebagai aktor sentral dari proses belajar.
“Metafora”
Logika kapitalisme dan industrialisasi membonsai pendidikan kita melalui tiga mekanisme: standardisasi, kompetisi, dan korporatisasi. Pertama, sekolah disamakan (kurikulum, pengajaran, dan evaluasinya) agar bias diperbandingkan dan diukur kinerjanya secara standar. Kedua, setelah bisa diperbandingkan lalu dikompetisikan layaknya kontes kecantikan. Oleh karena itu, kemudian muncul istilah SMA favorit, Universitas terbaik, Ive League, dan semacamnya. Ketiga, pemodal masuk ke jantung industri pendidikan yang fokus utama mereka adalah profit bukanlah pembelajaran. Inilah biang dari instanisasi, dehumanisasi, dan dekadensi pendidikan kita.
Robinson yang ceramahnya “How School Kill Creativity” ditonton jutaan pemirsa dan merupakan yang tertinggal dalam sejarah TED, mengambil metafor pertanian industrial (industrial farming) untuk menggambarkan logika pendidikan bonsai. Tujuan utama pertanian industri adalah memproduksi sebanyak mungkin panen, at all cost. Caranya, menanam bibit monokultur (kalau perlu bibit transgenik), menggunakan pupuk kimia tak peduli tanahnya terdegradasi, menggunakan pestisida untuk memberangus hama tak peduli kerusakan lingkungan. Buah dari pendekatan industrial adalah hasil panen yang maksimal, tetapi dengan ongkos yang sangat mahal berupa bencana kesehatan (seperti meluasnya penyakit kanker) dan kerusakan lingkungan.  
Lawannya adalah pertanian organik yang menempatkan bertanam sebagai bagian dari jejaring kehidupan (web of life) yang lebih luas. Berbeda dengan pertanian industrial, pertanian organik melihat vitalitas kesuburan tanah dan kelestarian lingkuan sebagai bagian penting dari proses produksi tanaman. Nah, beginilah seharusnya pendidikan kita di kelola dan di kembangkan. Alih-alih melulu mengejar target menghasilkan lulusan terbanyak dan terbaik (melalui test multiple choice), sekolah seharusnya mampu membentuk pribadi-pribadi dewasa yang mumpuni dan bernurani melalui inuvasi dan kreativitas metode pembelajaran.
Seperti halnya pertanian organik, pendidikan organik mensyaratkan empat hal. Pertama, harus mengembangkan dan mendewasakan anak didik secara multidimensi dan holistis (fisikal, intelektual, sosial, dan spritual). Kedua, harus terkait erat dengan lingkungan komunitas dan masyarakatnya, tak boleh tercerabut dan ada di menara gading. Ketiga, harus mengembangkan potensi anak didik melalui sinergi antara si anak, pengajar, orang tua, dan masyarakat lingkungannya. Terakhir, harus dilakukan secara personal atau customized untuk tiap individu karna masing-masing mereka memiliki bakat, minat, dan keunikan sendiri-sendiri.
Celakanya, pendekatan baru ini tidak bisa dilakukan secara instan dan semudah menyelenggarakan ujian multiple choice. Karena itu, hal yang di butuhkan dalam dunia pendidikan bukanlah program percepatan, crash program, atau semacamnya, melainkan ”slow movement” dan “slow edication”. Yang dibutuhkan adalah creative destruction, alias memusnahkan system pendidikan bonsai untuk menggantinya dengan system yang sama sekali baru. Dua buku tersebut mengusulkan sebuah revolusi dan pendekatan out of the box dalam pengelolaan pendidikan kita.Mudah-mudahan suatu saat system yang di tawarkan oleh pembahasan di atas dapat  di terapkan dengan baik oleh berbagai sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di negri ini, agar sesuai dengan manusia yang berpendidikan sebagai mana mestinya khususnya bagi Mahasiswa Universitas Tribhuwana Tunggadewi dan kader-kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia di manapun berada.
*tulisan ini di ambil dari harian KOMPAS, Senin, 11 Januari 2016 dan di kelola oleh salah satu kader PMII Country/(sam).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar




Designed By