Breaking News
Flag Counter

Sabtu, 03 Januari 2015

Seorang Sarjana Senja

Saat manusia dilahirkan ke dunia ini. Saat itulah akan melihat matahari yang berbeda. Barangkali tanggal bisa sama tapi cuaca dan suasana jelas berbeda. Sebab dengan begitu, kita menjadi sadar bahwa perbedaan bukan menjadi alasan untuk tidak menjadi bersama.

Ya, begitulah hidup. Meski dengan matahari yang sama, bulan yang sama, dan tahun yang sama belum tentu kita melihat dan merasakan hal yang sama. Sebagimana halnya denganku. Karena di tahun ini, namaku menjadi tua sama seperti usiaku yang makin habis di kikis usia.

Perkenalkan, namaku Madiw Su. Saat ini, namaku tercatat sebagai mahasiswa tua yang belum sempat wisuda. Namaku masih terpangpang rapi di kampusku. Lebih-lebih sering disebutkan saat ibuku sedang berdoa. Sejak itulah, namaku seringkali menjadi perbincangan di kalangan teman mahasiswa lebih-lebih teman kampusku yang lain.

Aku merasa tidak lagi percaya diri untuk berangkat ke kampus. Aku sangat malu ketika adik-adik angkatanku selalu bilang, “ Kakak kapan wisuda?”. Pertanyaan itu seakan-akan menjadi hantu yang selalu mengejarku kemana melangkah. Belum lagi di tambah saat ibuku menanyakan tentang wisudaku.

“Nak, kamu kapan wisuda?”, kata ibuku. Aku diam saja mendengar pertanyaan darinya. Aku dibuatnya semakin merasa bersalah. Meski sebenarnya, bukan ijazahnya yang dibutuhkan ketika lulus, melainkan ilmunya. Tapi, hidup di era sekarang formalitas menjadi hal penting untuk memulai segala mimpi.

Menjadi  seoarang sarjana, itu bukanlah takdir melainkan pilihan hidup. Tidak heran saat kita menjumpai orang-orang yang kita anggap bodoh di kelas menjadi sarjana duluan. Itu buktinya, wisuda atau tidak itu menjadi pilihan dari setiap orang. Sampai sekarang aku masih yakin, bisa atau tidak membuat skripsi itu terletak pada niat yang kuat.

Kembali lagi ke namaku, kenapa sampai sekarang belum wisuda. Kamu tahu tidak!. Karena bagiku, menjadi seorang Sarjana itu sudah lumrah dapat gelar S1. Di masing-masing kampus yang ada di indonesia sudah meluluskan banyak mahasiswanya setiap tahun. Apalagi semaraknya pengangguran dikalangan seoarang sarjana muda, ini menjadi perbincangan hangat di media maupun di kalangan masyarakat. Itulah salah satu alasan kenapa sampai sekarang aku belum wisuda. Bagiku, menjadi seorang sarjana merupakan sebuah tanggung jawab sosial yang besar dari gelar yang di sandang.

Aku malu kepada ibuku, bangsa dan negaraku kalau harus menjadi sarjana formalitas yang tidak sesuai dengan kapasitas ilmu yang diperoleh saat duduk di bangku kuliah. Belum lagi paradigma masyarakat yang kemudian melahirkan pola pandang. Menjadi seorang sarjana sudah dianggap menjadi orang pintar dan paham tentang segala hal.

Belum lagi mengingat sejarah para seorang sarjana muda. Kesana-sini mulai sibuk untuk mencari lowongan pekerjaan. Sepertinya akan menjadi kenangan pahit mengingatnya ketika sering ditolak. Walau sebenarnya, sebagian dari mereka tidak memutuskan untuk bekerja, atau bisa jadi nikah. Ada lagi dari mereka yang memilih untuk melanjutkan ke pendidikan berikutnya. Semua itu, adalah sebuah pilihan dalam hidup yang akan dijalaninya.

Kalau ingat perjuangan ibuku di rumah rasanya ingin segera wisuda. Ibuku sudah mulai banyak kehilangan waktu tidurnya karena bekerja untukku. Hingga, rasa lapar pun tak terasa dalam hari-harinya. Kini usianya mulai di makan usia. Tapi jiwanya masih tetap muda, penuh semangat dan memiliki hati yang sabar untuk mewujudkan apa yang sempat aku perbincangkan dulu sebelum namaku tercatat sebagai seorang mahasiswa.

Dulu ibuku pernah bilang begini,“Nak, kamu kapan wisudanya, teman-temanmu sudah pada wisuda semua?. Ibu pengen melihat kamu juga segera wisuda”. Ucap ibuku sambil memelukku.

“Aku belum siap untuk menjadi seorang sarjana muda, Bu”. Kataku
“Terus kamu mau nunggu kapan untuk wisuda?”.
“Entahlah... aku masih merasa ilmuku masih belum pantas untuk menyandang gelar itu. Aku benar-benar belum siap”. Kataku lagi. Kami terdiam. Suasana menjadi hening. Sementara ibuku semakin erat memelukku. Hangat rasanya dalam pelukannya. Diluar sana begitu dingin angin malam.

“Bu, aku pasti wisuda. Nanti aku kabari, kalau sudah waktunya ibu harus berangkat ke kota untuk menghadiri prosesi wisudaku”, ucapku pelan sambil meyakinkan ibuku. Sebab, usia ibuku sudah kian berlanjut. Aku khawatir kalau dia harus tahu sebenarnya aku belum mempersiapkan segalanya untuk wisuda. Praktek dan skripsiku pun belum selesai dan belum lagi banyak mata kuliahku yang harus mengulang.

“Ya, terus kapan wisudanya? Tahun depan? Itu terlalu lama, bukankah sekarang kamu sudah semester 8 dan seharusnya kamu sudah wisuda”. Tanya ibuku sambil memelukku. Aku semakin merasa tidak enak sudah membuat ibuku begitu lama menunggu moment ini. Aku melihat kulit ibuku sudah mulai keriput. Kini rambutnya tak lagi sehitam dulu. Tak serapi dulu. Sudah mulai rontok satu persatu dan jadi jarang disisir pula. Bagiku, ibuku tetap menjadi wanita cantik. Wanita hebat yang pernah kutemukan di dunia.

“Nak, Ibu paham kalau menjadi seorang sarjana itu memang pilihan hidup. Siapa yang mau melakukannya maka, dia akan mendapatkannya. Ibu mau kamu segera melakukannya. Mimpimu tidak hanya itu, begitu banyak mimpi-mimpi yang belum kamu wujudkan. Sudah saatnya, kamu segera menemuinya. Ibu yakin, kamu pasti bisa wujudkan semua ini”.

“Usiamu masih muda, Nak. Kamu tidak cukup berdiam saja. Perlu kamu ingat, banyak hal yang bisa kamu lakukan di usiamu sekarang. Apakah kamu yakin dengan cara tidak wisuda keilmuanmu semakin bertambah?. Padahal kamu bisa dapatkan banyak ilmu diluar sana, tidak hanya saat duduk di bangku kuliah”, ucap ibuku sekali lagi meski suara begitu halus dan pelan sekali. Aku benar-benar merasakan ada sesuatu yang terbakar dalam jiwaku membuatku semakin bergairah dan bersemangat untuk segera menemui mimpi itu.
Itulah percakapan terakhir dengan ibuku sebelum aku berangkat ke kota untuk menyambut namaku yang tercatat sebagai semester tua. Sebuah nama panggilan yang sebenarnya sudah bosan dan jenuh aku dengarkan. Bahkan ingin rasanya tidak mendengar gelar itu dengan dilanjutkan namaku.

Berhari-hari pikiranku sedang dilanda begitu banyak pertanyaan tentang perkataan ibuku. Keinginan antara wisuda atau tidak. Kalau semuanya sudah terlanjur, rasanya makan pun tidak enak. Apalagi tidur, sudah tidak nyenyak lagi. Waktu begitu cepat memutar semuanya. Hingga akhirnya, namaku tercatatat di angka ganjil yaitu sebagai semester 9.

Setelah aku pikir-pikir memang benar kata ibuku, begitu banyak mimpi-mimpi yang sedang menungguku. Usia dan waktu terus berlalu hingga akhirnya akan gugur dari kalender di tubuh. Dari hari ke hari akan jatuh menjadi kenangan, menjadi jejak sampai pada akhirnya tiba waktunya tanggal terakhir.

Di tahun 2015 nanti ini akan jawaban pertanyaan ibuku selama ini. Moment yang tidak akan pernah terlupakan. Waktu di mana, aku akan melihat senyum yang dulu sempat sirna saat mendengar kabar wisudaku diundur. Tak ada yang lebih penting dari senyum itu. Karena sebenarnya, ibuku sudah begitu lama menunggunya penuh sabar dalam doa dan usahanya.

Maka mimpi selanjutnya, aku akan menuju pada kota Jogjakarta. Kota dimana banyak seniman, penyair dan penulis dilahirkan. Dan aku ingin seperti itu, dilahirkan lalu dibesarkan namaku.

Malang, 2014


Mawardi Stiawan, lahir di Sumenep Madura. Mahasiswa Unitri Malang, kini tinggal di Malang.
*Sumber Radar Malang, Desember, 2014



Tidak ada komentar:

Posting Komentar




Designed By