Menjelang
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, ada banyak figur yang akan muncul dalam
percaturan pesta demokrasi lima tahunan itu. Jokowi, Abu Rizal Bakri (ARB) dan
Prabowo adalah beberapa nama yang akan menghiasi papan pemilihan presiden
nanti. Setidaknya, tiga nama tersebut yang diperkirakan maju menjadi Calon
Presiden.
“Dari
tiga nama tersebut, sampai saat ini masih Jokowi yang memiliki investasi sosial
paling dominan kepada masyarakat,” ungkap Pemateri kajian, Dani Sutopo kepada
peserta kajian di Sekretariat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas
Tribhuwana Tunggadewi Malang, Jum’at 10 Mei 2014.
Menurut
dosen sosiologi di Universitas Brawijaya ini, investasi sosial Jokowi sudah
dilakukan jauh sebelum dirinya memiliki orientasi menjadi presiden. Ia
menggambarkan perilaku kepemimpinan Jokowi yang lebih dekat kepada rakyat. Ia
menjadi teladan bagi rakyat dengan selalu berada di depan dan selalu turun ke
lapangan atau blusukan.
Jika
membaca track record ARB, pria
berambut gondrong diikat ini menjelaskan bahwa ARB merupakan sosok pengusaha
yang politis sekali. Hal ini wajar jika melihat ARB yang selain pengusaha juga
menjabat sebagai ketua partai Golkar. Golkar merupakan kendaraan politik ARB
menuju pemenangan Pilpres 2014.
Namun,
di sisi lain, ARB lemah di ranah sosial. Investasi sosial yang dilakukan ARB
tidak setinggi yang dilakukan Jokowi. “Investasi sosialnya kurang, walaupun
akhir-akhir ini ia sedang menggalakkan beberapa program yang lebih mengarah
kepada ranah sosial,” jelasnya.
Sementara
itu, jika membaca track record
Prabowo tentu lain lagi hasilnya. Prabowo adalah sosok pribadi yang konsisten.
Tentu ini menjadi nilai positif apalagi memimpin partai Gerindra yang katanya
membela wong cilik, walaupun karirnya
di Tentara Nasional Indonesia (TNI) terbilang cukup prematur.
“Tapi
jangan lupa, di masa pergolakan 1998 ia juga kental dengan predikat penculik
aktivis, walaupun saat ini cakarnya di TNI juga masih kuat,” tambah Dani.
Menuju
Indonesia lebih baik, tentu tidak hanya memandang pemimpin dari sisi politis
saja, melainkan sisi-sisi yang lain juga harus diperhatikan. Jika melihat dari
sisi politis, maka untuk memimpin Negara ini hanya membutuhkan calon pemimpin
yang memiliki record bagus di bidang
birokrasi. Padahal,berbicara tentang pemimpin Negara berarti berbicara tentang
masyarakat dan bangsa.
Oleh
sebab itu, pandangan dari sisi masyarakat juga harus digunakan. Sisi ini
melihat bagaimana seorang pemimpin juga harus memiliki record yang bagus dalam sisi investasi sosial kepada diri
masyarakat. “Sekarang ini banyak yang terjebak bahwa mengelola Negara itu
mengelola pemerintahan, padahal tidak,” ujarnya.
Dari
track record ketiga nama tersebut,
bisa dilihat sosok seperti apa nantinya yang cocok untuk memimpin Negara
pancasila ini. Ke depan, bangsa ini perlu dipimpin oleh mereka yang mampu
mengambil keputusan di tengah-tengah kaum atau msyarakat tertindas, yang masih
jauh dari kata makmur.
Analoginya
adalah, ketika masyarakat ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang
makmur dan tertindas, maka pemimpin yang paling bijak adalah ketika pemimpin
itu mengambil kebijakan dan kakinya berada di tengah masyarakat yang tertindas.
Pemimpin yang seperti ini adalah pemimpin yang melihat dan mendasarkan perilaku
kepemimpinannya pada mereka yang masih belum merasakan kemakmuran, sehingga
keputusannya tidak semena-mena dan tidak semakin melempar masyakat miskin ke
jurang yang semakin membuatnya miskin.
Bayangkan,
ketika pemimpin yang mengambil keputusan menginjakkan kaki dan pemikirannya di
tengah-tengah kaum yang makmur dan kaya, maka ketika dihadapkan pada
permasalahan dan hutang Negara, mereka akan mencari solusi instan dengan
meminjam dan menghutang ke Negara adidaya.
Analogi
ini bisa direlevansikan dengan ketiga nama tersebut. Jokowi memiliki investasi
sosial yang tinggi kepada masyarakat. Dipadu dengan partai PDI-P yang juga
katanya lebih berpihak dan membela kepentingan-kepentingan rakyat melalui
gerakan ekonomi sosialnya. Prabowo dan partainya juga berada dalam posisi
membela kepentingan wong cilik. Hal
ini bisa dilihat dari program-program partai Gerindra yang menggalakkan
perhatiannya pada kemakmuran petani.
Sementara
ARB, politisi ini bisa dilihat sebagai politisi partai yang juga sebagai
pengusaha. Jaringan dan komunikasi luar negeri juga tentu terbangun, khususnya
dalam bidang usaha. Pembangunan negeri ini akan semakin lebih maju karena
ditopang oleh pemimpin yang politis dan diplomatik dengan negosiasi model
pengusaha.
Namun,
juga bisa dipastikan kebergantungan bangsa ini kepada Negara luar akan semakin
erat. Liberalisme dan kapitalisme akan semakin merajalela. Hutang kepada bank
dunia juga akan semakin menumpuk. Sejarah menyatakan, bahwa di bawah pimpinan
Soekarno Negara ini meneriakkan untuk berdiri di atas kaki sendiri. Namun, pada
periode rezim berikutnya, gerbang masuknya kapitalisme dan liberalisme terbuka
lebar. Maka tidak heran jika sejak itu, hutang Negara ini kepada Negara lain
semakin bertambah dan semakin menumpuk.
Pada
momentum Pilpres 2014, sudah saatnya untuk mengembalikan jati diri bangsa ini.
Tidak masalah membangun perjanjian bilateral dengan Negara asing, namun harus
diperhatikan bahwa bangsa ini bukan boneka yang bisa dipermainkan dan diambil
kekayaan alamnya. “Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) kita selalu disediakan untuk
bangsa asing,” jelas Dani.
Pada
kajian isu nasional yang diadakan Wakil Ketua II Pengurus PMII Komisariat
Country ini, Dani memberikan catatan bahwa sebagai pemilih, masyarakat harus
berpikir tentang masyarakat yang harus diayomi, perubahan bangsa, masyarakat
tertindas dan memilih atas dasar sesuatu yang benar. “Itu yang paling relevan
bagi kita saat ini,” ucap Dani di akhir kajian. (Tif)




Tidak ada komentar:
Posting Komentar