Oleh: Rara
Zarary**
Aku kembali
pada labuhan rasaku, hati. Bagaimana rinduku yang tak pernah terjawab.
Pertanyaan dimana yang sampai saat ini aku tak pernah mendengar darimu lagi.
Padahal aku telah letih. Aku letih merindukanmu. Aku letih terus mengeja
namamu. Sangat. Letihku membuncak, dan kau tahu kenapa? Aku tak pernah
mendapatkan jawaban cinta darimu, aku tak lagi mendengar ucapan tunggu darimu.
Kau hempaskan harapanku ditegah gersangnya rasa. Kau toreh hatiku disaat badai
menggelegarkan suaranya. Tepat ditelingaku. Dan aku terkapar. Nafasku terengah,
aku linglung, aku tak punya daya. Dan sampailah aku tak mampu ingat kembali
siapa yang mengajariku cinta pertama kali. Aku lupa, aku tak mampu membaca
petikan bahasa dari bola mata emak. Aku buta, aku pun tak mampu menafsiri sentuhan
tangan emak, aku lumpuh.
Ayah, aku telah mati bersama harapan
panjangku. Aku mati bersama nada-nada cinta dari hatiku yang terlampau kering.
Aku telah mati, sebelum aku tahu apa itu hidup yang sebenarnya. Hidup yang kata
banyak orang mengajari kita mencintai dan dicintai, hidup yang katanya mengajak
kita tersenyum bahkan terbahak-bahak bahagia, mengajari kita dewasa, mengajari
kita berjalan dan mengedipkan mata pada birunya langit. Tapi sayang ayah, aku
tak pernah mendapati itu. Aku belum tahu tentang cinta, aku masih belum tahu
seperti apa orang dewasa, aku masih tak tahu cara berdiri dan mengedipkan mata.
Karena aku lumpuh, aku buta ayah. Karena kau yang tak pernah kembali menemuiku.
Padahal, aku masih kaku disini, menunggumu di depan jendela kamar tuaku.
Pemberianmu. Jendela yang biasa menjadi tabir percakapan antara kita dipagi
hari.
@@@
”apa yang
kamu rasakan hanya dirimu yang tahu, orang lain hanya mampu menjadi kaki untuk
membantumu berdiri, melangkah lalu berlari. Dan aku bersedia menjadi kaki
untukmu. Aku bersedia mengajarimu bagaimana cara berdiri” ungkap Naina, seraya
menepuk bahuku lalu tersenyum meyakinkanku. ”tapi sayang, sampai kapanpun kau
tak kan bisa membuatku berdiri. Aku tak punya pahlawan sepertimu. Andai kau
tahu, kakiku hampir lumpuh, tanganku hampir patah, dan mataku hampir buta. Aku
harus berjuang sendirian melawan kerasnya kehidupan ini. Sedangkan kau? Kau
tidak begitu. Kau masih memiliki mereka yang akan memperjuangkan pendidikanmu, kerjamu bahkan
segala hidupmu nanti. Sedangkan aku, aku belum tahu pasti. Apakah besok aku
akan tetap hidup. Apakah besok aku akan tetap bertahan berdiri di Universitas
ini untuk melanjutakan pendidikanku sampai memakai toga wisuda? Aku tak tahu
Naina. Aku tak yakin. Aku memang masih punya emak, tapi diapun juga sudah tua,
tak punya banyak hal untuk dapat membiayaiku. Dia hanya pedagang asongan. Yang
berjualan tiap minggu sekali, dan itupun tidak menjamin ia mendapatkan sepeser
uang. Apa kau masih mau menjamin mengajariku tetap berdiri hanya dengan hidupku
yang begini? Tidak Naina. Kau tidak akan pernah bisa!” air mataku mengalir
deras. Aku sangat sakit atas keadaan yang membuatku tidak memilki harapan
banyak tentang keindahan hidup. Aku sakit Tuhan. ”jangan berpikir begitu, kau
harus tahu, bahwa kau merupakan orang yang terpilih yang mampu mengajari orang
lain tentang ketegaran. Bahkan bagiku. Aku sadar Ra, sebelum kau ceritakan hal
ini padaku, aku tak pernah berpikir, aku tak pernah menganggap ayahku sebagai
pahlawanku. Karena jika aku juga berpikir begitu, bagaimana dengan seorang ayah
yang berdusta pada keluarganya, apa mereka juga akan dikatakan pahlawan?. Tapi
saat ini aku tahu jawabannya. Dan itu dari kamu Ra. Bahwa bagaimanapun ayah,
dia tetap pahlawan. Yang akan selalu menjadi pembela kita, yang membuat kita
merasa terlindungi dari segala bahaya” Naina menunduk. Ada tetesan air mata
yang kulihat darinya. ”Tuhan tidak buta Ra, Tuhan tidak tuli. Tidak ada ayah,
tapi masih ada tuhan. Dia yang akan mendengar segala sakitmu. Dia yang akan
menjawab semua pertanyaanmu yang tidak pernah kau dapatkan dari ayahmu. Dan aku
sadar satu hal Ra, bahwa mulai saat ini, aku benar-benar harus memperjuangkan
hidupku. Hidup ayah ibuku, karena aku tahu hidup ini sebentar. Kau benar Ra.
Sebelum mereka pergi, seharusnya kita mampu menbuat mereka tersenyum karena
cinta kita” Naina menghapus air matanya, lalu menyodorkan senyumannya
dihadapanku. Aku mengerti, dia hanya ingin membuatku tenang. Padahal, ada sakit
yang juga ia rasakan. ”hah,.. aku mengerti, terimakasih sudah mengajakku
berpikir tentang adanya tuhan. Terimakasih mampu membuat aku sadar, bahwa Tuhan
tidak pernah alpa dalam kehidupan ini. Aku akan buktikan, dengan segala
kesederhanaan bahkan kekuranganku ini. Aku mampu menjadi pahlawan bagi ibu dan
keluargaku. Aku akan buktikan bahwa ayah tidak pernah sia-sia mengajariku akan
hidup yang sesaat” aku kembali berdiri. Aku kembali menatap langit yang lama
tak kusadari akan birunya yang indah. Akupun kembali belajar tersenyum untuk
dunia, karena mulai tahu. Bahwa tuhan tidak akan pernah pergi dari sampingku.
Aku juga tahu, bahwa emak disana butuh perjuanganku untuk kembali kesampingnya
saat nanti ia tak mampu berbuat apa-apa. Yah, aku harus berdiri, aku harus
melangkah dan berlari. Aku tidak akan pernah kalah pada kehidupan yang tak
menjanjikan ini. ”aku janji. Mulai saat ini, aku akan berjuang untuk hidupku.
Yah, kau benar Naina. Bukan hanya emak dan ayah yang menjadi pahlawan bagi
kita. Tapi kitapun harus menjadi pahlawan bagi mereka, kita harus menjadi orang
yang melindungi mereka dan pahlawan saat mereka sudah tak mampu mengedipkan
kedua mata mereka” tangisku kembali. Jantungku berdegub kencang. Terlintas
bayangan emak diseberang sana. Wajahnya yang telah kusam dan keriput, seakan
menawarkan senyum untukku. Tuhan, izinkan aku membahagiakan dia sebelum kau
juga mengambilnya dariku. Karena aku tak mau dia mati tanpa cinta....maaf jika
aku harus kembali menangis untukmu disana emak...
Dan untukmu,
yang masih memiliki mereka
Sudahkah kau
berjuang untuk mereka?
Sudahkah kau
memberikan sesuatu untuk hidup mereka disana yang mati-matian memperjuangkan
hidupmu? Memperjuangkan nyawa hanya untukmu.
Ingat satu
hal sahabat, hidup hanya sebentar. Kalau bukan saat ini, kapan lagi kau akan
membuat ayah ibumu bangga memilikimu?
Jangan sampai
menyesal sepertiku, yang belum berhasil membuat ayah bangga memiliki aku,
sebagai anaknya.
** Mahasiswa komunikasi
Terimakasih telah menjadi inspirasiku
tentang adanya Tuhan. Sahabat Naina




Tidak ada komentar:
Posting Komentar