Saat manusia dilahirkan ke dunia ini. Saat itulah
akan melihat matahari yang berbeda. Barangkali tanggal bisa sama tapi cuaca dan
suasana jelas berbeda. Sebab dengan begitu, kita menjadi sadar bahwa perbedaan
bukan menjadi alasan untuk tidak menjadi bersama.
Ya, begitulah
hidup. Meski dengan matahari yang sama, bulan yang sama, dan tahun yang sama
belum tentu kita melihat dan merasakan hal yang sama. Sebagimana halnya
denganku. Karena di tahun ini, namaku menjadi tua sama seperti usiaku yang
makin habis di kikis usia.
Perkenalkan,
namaku Madiw Su. Saat ini, namaku tercatat sebagai mahasiswa tua yang belum
sempat wisuda. Namaku masih terpangpang rapi di kampusku. Lebih-lebih sering
disebutkan saat ibuku sedang berdoa. Sejak itulah, namaku seringkali menjadi
perbincangan di kalangan teman mahasiswa lebih-lebih teman kampusku yang lain.
Aku merasa tidak
lagi percaya diri untuk berangkat ke kampus. Aku sangat malu ketika adik-adik
angkatanku selalu bilang, “ Kakak kapan wisuda?”. Pertanyaan itu seakan-akan
menjadi hantu yang selalu mengejarku kemana melangkah. Belum lagi di tambah saat
ibuku menanyakan tentang wisudaku.
“Nak, kamu kapan
wisuda?”, kata ibuku. Aku diam saja mendengar pertanyaan darinya. Aku dibuatnya
semakin merasa bersalah. Meski sebenarnya, bukan ijazahnya yang dibutuhkan
ketika lulus, melainkan ilmunya. Tapi, hidup di era sekarang formalitas menjadi
hal penting untuk memulai segala mimpi.
Menjadi seoarang sarjana, itu bukanlah takdir
melainkan pilihan hidup. Tidak heran saat kita menjumpai orang-orang yang kita
anggap bodoh di kelas menjadi sarjana duluan. Itu buktinya, wisuda atau tidak itu
menjadi pilihan dari setiap orang. Sampai sekarang aku masih yakin, bisa atau
tidak membuat skripsi itu terletak pada niat yang kuat.
Kembali lagi ke
namaku, kenapa sampai sekarang belum wisuda. Kamu tahu tidak!. Karena bagiku,
menjadi seorang Sarjana itu sudah lumrah dapat gelar S1. Di masing-masing kampus
yang ada di indonesia sudah meluluskan banyak mahasiswanya setiap tahun.
Apalagi semaraknya pengangguran dikalangan seoarang sarjana muda, ini menjadi
perbincangan hangat di media maupun di kalangan masyarakat. Itulah salah satu
alasan kenapa sampai sekarang aku belum wisuda. Bagiku, menjadi seorang sarjana
merupakan sebuah tanggung jawab sosial yang besar dari gelar yang di sandang.
Aku malu kepada
ibuku, bangsa dan negaraku kalau harus menjadi sarjana formalitas yang tidak
sesuai dengan kapasitas ilmu yang diperoleh saat duduk di bangku kuliah. Belum
lagi paradigma masyarakat yang kemudian melahirkan pola pandang. Menjadi
seorang sarjana sudah dianggap menjadi orang pintar dan paham tentang segala
hal.
Belum lagi
mengingat sejarah para seorang sarjana muda. Kesana-sini mulai sibuk untuk
mencari lowongan pekerjaan. Sepertinya akan menjadi kenangan pahit mengingatnya
ketika sering ditolak. Walau sebenarnya, sebagian dari mereka tidak memutuskan
untuk bekerja, atau bisa jadi nikah. Ada lagi dari mereka yang memilih untuk
melanjutkan ke pendidikan berikutnya. Semua itu, adalah sebuah pilihan dalam
hidup yang akan dijalaninya.
Kalau ingat perjuangan
ibuku di rumah rasanya ingin segera wisuda. Ibuku sudah mulai banyak kehilangan
waktu tidurnya karena bekerja untukku. Hingga, rasa lapar pun tak terasa dalam
hari-harinya. Kini usianya mulai di makan usia. Tapi jiwanya masih tetap muda,
penuh semangat dan memiliki hati yang sabar untuk mewujudkan apa yang sempat
aku perbincangkan dulu sebelum namaku tercatat sebagai seorang mahasiswa.
Dulu ibuku pernah
bilang begini,“Nak, kamu kapan wisudanya, teman-temanmu sudah pada wisuda semua?.
Ibu pengen melihat kamu juga segera wisuda”. Ucap ibuku sambil memelukku.
“Aku belum siap untuk menjadi seorang sarjana muda,
Bu”. Kataku
“Terus kamu mau nunggu kapan untuk wisuda?”.
“Entahlah... aku masih merasa ilmuku masih belum
pantas untuk menyandang gelar itu. Aku benar-benar belum siap”. Kataku lagi.
Kami terdiam. Suasana menjadi hening. Sementara ibuku semakin erat memelukku.
Hangat rasanya dalam pelukannya. Diluar sana begitu dingin angin malam.
“Bu, aku pasti
wisuda. Nanti aku kabari, kalau sudah waktunya ibu harus berangkat ke kota
untuk menghadiri prosesi wisudaku”, ucapku pelan sambil meyakinkan ibuku. Sebab,
usia ibuku sudah kian berlanjut. Aku khawatir kalau dia harus tahu sebenarnya aku
belum mempersiapkan segalanya untuk wisuda. Praktek dan skripsiku pun belum
selesai dan belum lagi banyak mata kuliahku yang harus mengulang.
“Ya, terus kapan
wisudanya? Tahun depan? Itu terlalu lama, bukankah sekarang kamu sudah semester
8 dan seharusnya kamu sudah wisuda”. Tanya ibuku sambil memelukku. Aku semakin
merasa tidak enak sudah membuat ibuku begitu lama menunggu moment ini. Aku melihat
kulit ibuku sudah mulai keriput. Kini rambutnya tak lagi sehitam dulu. Tak
serapi dulu. Sudah mulai rontok satu persatu dan jadi jarang disisir pula. Bagiku,
ibuku tetap menjadi wanita cantik. Wanita hebat yang pernah kutemukan di dunia.
“Nak, Ibu paham
kalau menjadi seorang sarjana itu memang pilihan hidup. Siapa yang mau
melakukannya maka, dia akan mendapatkannya. Ibu mau kamu segera melakukannya.
Mimpimu tidak hanya itu, begitu banyak mimpi-mimpi yang belum kamu wujudkan. Sudah
saatnya, kamu segera menemuinya. Ibu yakin, kamu pasti bisa wujudkan semua
ini”.
“Usiamu masih
muda, Nak. Kamu tidak cukup berdiam saja. Perlu kamu ingat, banyak hal yang
bisa kamu lakukan di usiamu sekarang. Apakah kamu yakin dengan cara tidak
wisuda keilmuanmu semakin bertambah?. Padahal kamu bisa dapatkan banyak ilmu
diluar sana, tidak hanya saat duduk di bangku kuliah”, ucap ibuku sekali lagi meski
suara begitu halus dan pelan sekali. Aku benar-benar merasakan ada sesuatu yang
terbakar dalam jiwaku membuatku semakin bergairah dan bersemangat untuk segera
menemui mimpi itu.
Itulah
percakapan terakhir dengan ibuku sebelum aku berangkat ke kota untuk menyambut
namaku yang tercatat sebagai semester tua. Sebuah nama panggilan yang
sebenarnya sudah bosan dan jenuh aku dengarkan. Bahkan ingin rasanya tidak
mendengar gelar itu dengan dilanjutkan namaku.
Berhari-hari
pikiranku sedang dilanda begitu banyak pertanyaan tentang perkataan ibuku.
Keinginan antara wisuda atau tidak. Kalau semuanya sudah terlanjur, rasanya
makan pun tidak enak. Apalagi tidur, sudah tidak nyenyak lagi. Waktu begitu
cepat memutar semuanya. Hingga akhirnya, namaku tercatatat di angka ganjil
yaitu sebagai semester 9.
Setelah aku
pikir-pikir memang benar kata ibuku, begitu banyak mimpi-mimpi yang sedang
menungguku. Usia dan waktu terus berlalu hingga akhirnya akan gugur dari
kalender di tubuh. Dari hari ke hari akan jatuh menjadi kenangan, menjadi jejak
sampai pada akhirnya tiba waktunya tanggal terakhir.
Di tahun 2015
nanti ini akan jawaban pertanyaan ibuku selama ini. Moment yang tidak akan
pernah terlupakan. Waktu di mana, aku akan melihat senyum yang dulu sempat
sirna saat mendengar kabar wisudaku diundur. Tak ada yang lebih penting dari
senyum itu. Karena sebenarnya, ibuku sudah begitu lama menunggunya penuh sabar
dalam doa dan usahanya.
Maka mimpi
selanjutnya, aku akan menuju pada kota Jogjakarta. Kota dimana banyak seniman,
penyair dan penulis dilahirkan. Dan aku ingin seperti itu, dilahirkan lalu
dibesarkan namaku.
Malang,
2014
Mawardi Stiawan, lahir di Sumenep Madura. Mahasiswa Unitri Malang, kini tinggal di Malang.
*Sumber Radar Malang, Desember, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar