Breaking News
Flag Counter

Senin, 29 April 2013

Demokrasi Kontemporer, Demokrasi Abu-Abu?



Di melenium ketiga ini, segala sesuatu sudah mengalami metamorfosa. Entah itu di aspek ekonomi, budaya, sosial dan politik. Sepuluh tahun terakhir ini kondisi kehidupan politik sosial kita mengalami perubahan secara cepat. Maka tidak heran kalau kecepatan menjadi salah satu ciri penting kehidupan modern. Power of speed telah menjadi bagian dari metamorfosa peradaban.

Demikian pula ketika berbicara tentang demokrasi kontemporer saat ini. Demokrasi yang sangat diagung-agungkan yang konon sangat cocok dengan background kultural masyarakat Indonesia ini ternyata dalam perkembangannya mengalami banyak pembengkokan. Benar sekali apa yang telah diungkapkan Paul Virilio seperti yang dikutip Yasraf (2011:83) bahwa demokrasi tak ubahnya dromokrasi. Dromos atau dalam hal ini dromologi seperti yang diungkapkan Virilio adalah ilmu bertumbuh cepat. Dromos yang kemudian disandingkan dengan kratia yang memunculkan pemaknaan baru demokrasi dimana kekuasaan tertinggi terletak pada kecepatan.

Dalam konteks politik demokrasi kontemporer, kecepatan yang dimaksud adalah kecepatan menguasai safari perebutan massa, kecepatan menguasai media, kecepatan mengejar trend politik dan branding partai yang sepintas lalu mencuri dan menarik simpati masyarakat. Power of speed sudah menjadi syarat mutlak bagaimana menguasai media massa, menguasai lumbung-lumbung jabatan serta menata segmentasi ruang politik.

Menjelang Pilpres 2014 mendatang, masyarakat disuguhi oleh banyaknya sajian program-program partai, mulai dari penyuluhan, sosialisasi, orasi dan sebagainya. Wajah-wajah para pemimpin partai mulai adu kecepatan menguasai ruang sosial politik dengan selalu nongol di layar televisi. Ada yang turun gunung guna berinteraksi langsung dengan masyarakat. Ada yang beralibi supaya langsung mengetahui kebutuhan dan aspirasi masyarakat bawah. Benarkah seperti itu? Jangan-jangan alibi ini hanya sekadar untuk menutupi satu sisi lain yang mengatasnamakan kepedulian dan lebih dekat dengan rakyat padahal memperjuangkan aspirasi satu kelompok partai saja.

Hal ini yang kemudian mengkhawatirkan dan mulai banyak diperbincangkan. Dengan melihat dan membaca skandal yang menimpa banyak wakil rakyat di kursi birokrasi seakan memberi pemahaman bahwa hampir seluruh (walaupun tidak 100 persen) para pelaku birokrasi yang berangkat dari partai hanya memperjuangkan kepentingan kelompok partainya masing-masing. Dalam artian, janji-janji dan cari muka yang dulu sering diberikan kepada masyarakat ternyata hanya dijadikan kendaraan politik untuk menguras sebanyak-banyaknya uang negara untuk kepentingan pribadi dan partainya.

Fenomena PON Riau misalnya. Pembangunan sejumlah arena pertandingan yang semestinya sudah selesai maksimal satu minggu sebelum pertandingan ternyata tersendat-tersendat. Satu hari menjelang dimulai perlombaan, masih ada banyak arena latihan dan perlombaan yang masih dalam proses penyelesaian. Gundukan tanah sisa pembangunan masih terlihat berserakan di area pertandingan. Hal ini memperlihatkan bahwa pembangunan dan persiapan arena PON ini kurang maksimal, padahal anggaran dana yang dicanangkan mencapai Rp 700 miliar lebih (tribunnews.com). Sekali lagi, tentu ada yang bermain dalam kenyataan ini. Tentu saja pemangakasan dan pembengkokan penggunaan anggaran yang tidak semestinya kemudian mengalir ke sangkar yang sudah mengusungnya masuk dalam jajaran kursi birokrasi, khususnya dalam bidang keolahragaan. Terbukti Komisi Pemberantasan Korupsi mengembangkan penyelidikan kasus dugaan suap Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII/2012 di Riau ke proyek-proyek fisik pengadaan barang dan jasa (www.analisadaily.com/06/10).

Inilah “trend” politik demokrasi kontemporer: Tidak hanya menganut sistem knowing power akan tetapi juga moving power. Di zaman modern seperti sekarang, diam berarti mati kata Paul Virilio. Mereka yang diam akan tergilas oleh percepatan. Percepatan bukan hanya menjadi sesuatu yang harus dilakukan melainkan sudah menjadi kebudayaan dalam peradaban sekarang. Dalam hal ini siapa yang tidak cukup sigap dan cepat bermain dalam penggunaan anggaran maka ia akan ketinggalan zaman, tidak gaul, ketinggalan oleh teman-temannya yang sudah lebih dulu meraup anggaran. Sebab kalau ia tidak lihai memainkan perannya kemungkinan ia akan didepak dari kursi partainya karena tidak cukup cerdas menjalankan dan menambah pundi-pundi finansial partainya.

Menengok pertarungan politik sekarang, ada banyak deteritorialisasi dan reteritorialisasi ruang yang dirambah oleh para pelaku politik. Politikus yang dalam kegiatan praktisnya cenderung membawa kepentingan satu kelompok semakin memperparah keadaan demokrasi kita saat mulai dicampuradukkan dengan masalah-masalah yang sebenarnya bukan wewenang dan tugasnya. Satu contoh saja, keberadaan sepak bola kita sudah dikuasai oleh oknum-oknum yang membawa misi tertentu dari partainya sehingga tidak bisa lagi membedakan antara kepentingan olahraga dan kepentingan politik. Namun secara garis besar, kepentingan yang diusung adalah kepentingan kelompoknya sendiri bukan masa depan sepak bola yang lebih baik dan berprestasi.

Pertumbuhan teritorial politik seperti ini persis sama dengan pertumbuhan model rhizome yang diusulkan oleh Gilles Deleuze dan Felix Guattari. Model pertumbuhan yang menjelaskan bagaimana sebuah pertumbuhan tidak harus tergantung pada konsep tunggal dan universal, melainkan keanekaragaman konsep-konsep yang menjalar ke segala arah, dan membentuk berbagai persinggungan dan persilangan yang tanpa batas.

Model pertumbuhan sepeti ini sangat bagus dan tidak kaku di zaman yang modern seperti sekarang. Namun model pertumbuhan yang seperti ini juga memiliki ekses negatif. Sebut saja persinggungan yang terjadi antara politik dan olahraga telah melahirkan satu aransemen baru pertumbuhan olahraga yang selalu dipenuhi dengan konfrontasi dan konflik oleh si empunya kepentingan primordial. Sudah tentu taruhannya adalah masa depan pemain sepak bola yang dirugikan yang pada ujungnya melahirkan masa depan sepak bola yang kurang berprestasi. Persinggungan ini juga telah melahirkan dualisme kompetisi sepak bola yang sangat berdampak buruk pada masa depan sepak bola Indonesia persinggungan antara politik dan kapital yang menurut Yasraf Amir Piliang (2011) telah melahirkan komersialisasi politik. Korupsi, kolusi, monopoli, manipulasi adalah bentuk-bentuk ekses dari persinggungan tersebut yang belakangan ini semakin menjamur.

Kembali pada pokok diskursus dalam tulisan ini bahwa politik dalam branding demokrasi Indonesia saat ini sudah mulai tergelincir dan bahkan sengaja digelincirkan oleh beberapa kelompok. Peran vital politik (partai politik) dalam mewujudkan pemerintahan demokrasi sangat signifikan. Namun deskripsi realitas yang ada seakan menvisualisasikan demokrasi yang dianut sekarang adalah demokrasi abu-abu yang jauh dari azas Pancasila. Bukan untuk mengecam atau bahkan mengecilkan potensi asas pancasila melainkan untuk membangkitkan kembali semangat kehidupan demokrasi yang sesuai dengan amanat pancasila idem no 26..

Zaman dan teknologi boleh berkembang seiring dengan arus globalisasi. Namun semangat untuk tetap mewujudkan sistem politik yang bersih dan menjunjung tinggi pelaksanaan demokrasi berasaskan pancasila tentu tidak boleh surut atau bahkan berubah-ubah laiyaknya bunglon. Sudah sangat tepat apabila partai politik memberikan kontribusi brilian pada proses pelaksanaan pemerintahan yang demokratis.

Dalam bahasa lain, walaupun secara organisasi partai politik berdiri dengan aspirasinya masing-masing, namun secara nasionalis dan menjunjung kesejahteraan masyarakat, peran partai politik sangat urgen untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Komposisi struktur organisasi, dalam hal ini pemerintah boleh beragam dan berasal dari partai politik yang berbeda-beda dengan kepentingan yang berbeda pula, namun kepentingan primordial itu tidak boleh dijadikan motor untuk menggerakkan roda-roda pemerintahan dengan kepentingannya masing-masing. Kepentingan orang banyak harus didahulukan dan diutamakan daripada kepentingan pribadi ataupun kelompok. Oleh karena itu, mari bersama-sama kembali memungut asa, membulatkan tekad untuk mewujudkan cita-cita demokrasi berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
  
Oleh: Latif Fianto 
(Kader Terbaik Rayon Fisip PMII Country Unitri Malang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar




Designed By