Di melenium ketiga ini, segala
sesuatu sudah mengalami metamorfosa. Entah itu di aspek ekonomi, budaya, sosial
dan politik. Sepuluh tahun terakhir ini kondisi kehidupan politik sosial kita
mengalami perubahan secara cepat. Maka tidak heran kalau kecepatan menjadi
salah satu ciri penting kehidupan modern. Power
of speed telah menjadi bagian
dari metamorfosa peradaban.
Demikian pula ketika berbicara
tentang demokrasi kontemporer saat ini. Demokrasi yang sangat diagung-agungkan
yang konon sangat cocok dengan background kultural masyarakat Indonesia ini
ternyata dalam perkembangannya mengalami banyak pembengkokan. Benar sekali apa
yang telah diungkapkan Paul Virilio seperti yang dikutip Yasraf (2011:83) bahwa
demokrasi tak ubahnya dromokrasi. Dromos atau dalam hal ini dromologi seperti
yang diungkapkan Virilio adalah ilmu bertumbuh cepat. Dromos yang kemudian
disandingkan dengan kratia yang memunculkan pemaknaan baru demokrasi dimana
kekuasaan tertinggi terletak pada kecepatan.
Dalam konteks politik
demokrasi kontemporer, kecepatan yang dimaksud adalah kecepatan menguasai
safari perebutan massa, kecepatan menguasai media, kecepatan mengejar trend
politik dan branding partai yang sepintas lalu mencuri dan menarik simpati
masyarakat. Power of speed sudah menjadi syarat mutlak bagaimana
menguasai media massa, menguasai lumbung-lumbung jabatan serta menata
segmentasi ruang politik.
Menjelang Pilpres 2014
mendatang, masyarakat disuguhi oleh banyaknya sajian program-program partai,
mulai dari penyuluhan, sosialisasi, orasi dan sebagainya. Wajah-wajah para
pemimpin partai mulai adu kecepatan menguasai ruang sosial politik dengan
selalu nongol di layar televisi. Ada yang turun
gunung guna berinteraksi langsung dengan masyarakat. Ada yang beralibi supaya
langsung mengetahui kebutuhan dan aspirasi masyarakat bawah. Benarkah seperti
itu? Jangan-jangan alibi ini hanya sekadar untuk menutupi satu sisi lain yang
mengatasnamakan kepedulian dan lebih dekat dengan rakyat padahal memperjuangkan
aspirasi satu kelompok partai saja.
Hal ini yang kemudian
mengkhawatirkan dan mulai banyak diperbincangkan. Dengan melihat dan membaca
skandal yang menimpa banyak wakil rakyat di kursi birokrasi seakan memberi
pemahaman bahwa hampir seluruh (walaupun tidak 100 persen) para pelaku
birokrasi yang berangkat dari partai hanya memperjuangkan kepentingan kelompok
partainya masing-masing. Dalam artian, janji-janji dan cari muka yang dulu
sering diberikan kepada masyarakat ternyata hanya dijadikan kendaraan politik
untuk menguras sebanyak-banyaknya uang negara untuk kepentingan pribadi dan
partainya.
Fenomena PON Riau misalnya.
Pembangunan sejumlah arena pertandingan yang semestinya sudah selesai maksimal
satu minggu sebelum pertandingan ternyata tersendat-tersendat. Satu hari
menjelang dimulai perlombaan, masih ada banyak arena latihan dan perlombaan
yang masih dalam proses penyelesaian. Gundukan tanah sisa pembangunan masih
terlihat berserakan di area pertandingan. Hal ini memperlihatkan bahwa
pembangunan dan persiapan arena PON ini kurang maksimal, padahal anggaran dana
yang dicanangkan mencapai Rp 700 miliar lebih (tribunnews.com). Sekali lagi,
tentu ada yang bermain dalam kenyataan ini. Tentu saja pemangakasan dan
pembengkokan penggunaan anggaran yang tidak semestinya kemudian mengalir ke
sangkar yang sudah mengusungnya masuk dalam jajaran kursi birokrasi, khususnya
dalam bidang keolahragaan. Terbukti Komisi Pemberantasan Korupsi mengembangkan
penyelidikan kasus dugaan suap Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII/2012 di Riau
ke proyek-proyek fisik pengadaan barang dan jasa (www.analisadaily.com/06/10).
Inilah “trend” politik
demokrasi kontemporer: Tidak hanya menganut sistem knowing power akan tetapi juga moving power. Di zaman modern
seperti sekarang, diam berarti mati kata Paul Virilio. Mereka yang diam akan
tergilas oleh percepatan. Percepatan bukan hanya menjadi sesuatu yang harus
dilakukan melainkan sudah menjadi kebudayaan dalam peradaban sekarang. Dalam
hal ini siapa yang tidak cukup sigap dan cepat bermain dalam penggunaan
anggaran maka ia akan ketinggalan zaman, tidak gaul, ketinggalan oleh
teman-temannya yang sudah lebih dulu meraup anggaran. Sebab kalau ia tidak
lihai memainkan perannya kemungkinan ia akan didepak dari kursi partainya
karena tidak cukup cerdas menjalankan dan menambah pundi-pundi finansial
partainya.
Menengok pertarungan politik
sekarang, ada banyak deteritorialisasi dan reteritorialisasi ruang yang
dirambah oleh para pelaku politik. Politikus yang dalam kegiatan praktisnya
cenderung membawa kepentingan satu kelompok semakin memperparah keadaan
demokrasi kita saat mulai dicampuradukkan dengan masalah-masalah yang
sebenarnya bukan wewenang dan tugasnya. Satu contoh saja, keberadaan sepak bola
kita sudah dikuasai oleh oknum-oknum yang membawa misi tertentu dari partainya
sehingga tidak bisa lagi membedakan antara kepentingan olahraga dan kepentingan
politik. Namun secara garis besar, kepentingan yang diusung adalah kepentingan
kelompoknya sendiri bukan masa depan sepak bola yang lebih baik dan
berprestasi.
Pertumbuhan teritorial politik
seperti ini persis sama dengan pertumbuhan model rhizome yang diusulkan oleh Gilles Deleuze dan
Felix Guattari. Model pertumbuhan yang menjelaskan bagaimana sebuah pertumbuhan
tidak harus tergantung pada konsep tunggal dan universal, melainkan keanekaragaman
konsep-konsep yang menjalar ke segala arah, dan membentuk berbagai
persinggungan dan persilangan yang tanpa batas.
Model pertumbuhan sepeti ini
sangat bagus dan tidak kaku di zaman yang modern seperti sekarang. Namun model
pertumbuhan yang seperti ini juga memiliki ekses negatif. Sebut saja
persinggungan yang terjadi antara politik dan olahraga telah melahirkan satu
aransemen baru pertumbuhan olahraga yang selalu dipenuhi dengan konfrontasi dan
konflik oleh si empunya kepentingan primordial. Sudah
tentu taruhannya adalah masa depan pemain sepak bola yang dirugikan yang pada
ujungnya melahirkan masa depan sepak bola yang kurang berprestasi.
Persinggungan ini juga telah melahirkan dualisme kompetisi sepak bola yang
sangat berdampak buruk pada masa depan sepak bola Indonesia persinggungan
antara politik dan kapital yang menurut Yasraf Amir Piliang (2011) telah
melahirkan komersialisasi politik. Korupsi, kolusi, monopoli, manipulasi adalah
bentuk-bentuk ekses dari persinggungan tersebut yang belakangan ini semakin
menjamur.
Kembali pada pokok diskursus
dalam tulisan ini bahwa politik dalam branding demokrasi Indonesia saat ini
sudah mulai tergelincir dan bahkan sengaja digelincirkan oleh beberapa
kelompok. Peran vital politik (partai politik) dalam mewujudkan pemerintahan
demokrasi sangat signifikan. Namun deskripsi realitas yang ada seakan
menvisualisasikan demokrasi yang dianut sekarang adalah demokrasi abu-abu yang
jauh dari azas Pancasila. Bukan untuk mengecam atau bahkan mengecilkan potensi
asas pancasila melainkan untuk membangkitkan kembali semangat kehidupan
demokrasi yang sesuai dengan amanat pancasila idem no 26..
Zaman dan teknologi boleh
berkembang seiring dengan arus globalisasi. Namun semangat untuk tetap
mewujudkan sistem politik yang bersih dan menjunjung tinggi pelaksanaan
demokrasi berasaskan pancasila tentu tidak boleh surut atau bahkan berubah-ubah
laiyaknya bunglon. Sudah sangat tepat apabila partai politik memberikan
kontribusi brilian pada proses pelaksanaan pemerintahan yang demokratis.
Dalam bahasa lain, walaupun
secara organisasi partai politik berdiri dengan aspirasinya masing-masing,
namun secara nasionalis dan menjunjung kesejahteraan masyarakat, peran partai
politik sangat urgen untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Komposisi struktur organisasi,
dalam hal ini pemerintah boleh beragam dan berasal dari partai politik yang
berbeda-beda dengan kepentingan yang berbeda pula, namun kepentingan primordial
itu tidak boleh dijadikan motor untuk menggerakkan roda-roda pemerintahan
dengan kepentingannya masing-masing. Kepentingan orang banyak harus didahulukan
dan diutamakan daripada kepentingan pribadi ataupun kelompok. Oleh karena itu,
mari bersama-sama kembali memungut asa, membulatkan tekad untuk mewujudkan
cita-cita demokrasi berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
Oleh:
Latif Fianto
(Kader Terbaik Rayon Fisip
PMII Country Unitri Malang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar